Sabtu, 16 Oktober 2010


PENDAHULUAN


Latar Belakang Masalah

Di dalam makalah ini kami membahas masalah operational lease and financial lease (sewa) dalam sistem perbankan Islam/syariah yang berpegang kepada prinsip bank syariah, sewa merupakan prinsip dasar perbankan syariah, selain dari prinsip Al-wadiah, bagi hasil (Profit sharing) jual beli, jasa.

Sewa-menyewa dalam Islam biasa disebut ijarah semua barang yang mungkin diambil manfaatnya dengan tetap zatnya, sah untuk disewakan, apabila kemanfaatannya itu dapat ditentukan dengan salah satu dari dua perkara, yaitu dengan masa dan perbuatan.

Sewa-menyewa artinya melakukan akad mengambil manfaat sesuatu yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan.

Ijarah tidak dapat dirusak oleh meninggalnya salah satu dari yang berakad, tetapi bisa rusak karena rusaknya barang yang disewakan.


SEWA

(Operasional Lease and Financial Lease)


Al-Ijarah (Operasional Lease)

Pengertian

Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri.

Landasan syariah

Al-Qur’an

فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا ءَاتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Yang menjadi dalil dari ayat tersebut adalah ungkapan “Apabila kamu memberikan pembayaran yang patut”. Ungkapan tersebut menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar upah (fee) secara patut. Yang termasuk di dalamnya ada jasa penyewa.

Al-Hadist

عن ابن عمر ان النبي صلى الله وسلم : اعظنوا الأجير  اجره  قبل ان يجف قه

“Dari ibnu Umar bahwa Rasulullah: bersabda: Berikanlah upah pekerjaan sebelum keringatnya kering. (HR. Ibnu Wajah).

Rukun dan Syariat Ijarah

Rukun-rukun dan syarat-syarat ijarah adalah sebagai berikut:
Mu’jir dan Musta’jir yaitu orang yang melakukan akad sewa-menyewa atau upah mengupah. Mu’jir adalah orang yang memberikan upah dan yang menyewa, Musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu. Disyaratkan pada mu’jir dan musta’jir adalah baligh, berakal, cakap melakukan tasharuf (mengendalikan harta).
Ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir, ijab kabul sewa-menyewa dan upah-mengupah. Ijab kabul sewa-menyewa misalnya, si budi menyewakan  mobil kepada Ali, setiap hari Rp 5000, maka musta’jir menjawab: ”Aku terima sewa mobil tersebut dengan harga demikian setiap hari”. Sedangkan upah-mengupah misalnya: kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp 5000, kemudian musta’jir menjawab: aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan .
Disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak baik dalam sewa-menyewa maupun dalam upah-mengupah.

Pembayaran Sewa dan Upah

Jika ijarah itu suatu pekerjaan maka kewajiban pembayaran upahnya waktu berakhirnya pekerjaan, jika akad sudah berlangsung dan tidak diisyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada penentuan penangguhannya, menurut Abu Hanifah yang diserahkan upahnya secara berangsur, sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri, jika mu’jir menyerahkan zat benda yang disewa kepada musta’jir ia berhak menerima bayarannya karena penyewa (musta’jir) sudah menerima kegunaannya.

Menyewa Barang Sewaan

Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain, dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad seperti yang disewakan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau tersebut disewakan lagi timbul Musta’jir kedua, maka kerbau itu pun harus digunakan membajak pula.

Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (Mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari kelalaian Musta;jir, maka yang bertanggung jawab adalah musta’jir itu sendiri, seperti menyewakan mobil, kemudian mobil itu hilang atau di curi karena di simpan bukan pada tempatnya.

Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah

Di dalam ijarah, akad tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang di wajibkan fasakh (batal).

Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:
Terjadi cacat pada barang sewaan yang kejadian itu terjadi pada tangan penyewa
rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya
rusaknya barang yang diupahkan karena baju yang diupahkan untuk dijahitkan
terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan
menurut Hanafiah, boleh terjadi fasakh (batal) dari salah satu pihak seperti yang menyewa toko untuk dagang kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakh sewaan itu.

Pengembalian Sewa

Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan, jika barang sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.

Mazhab Hanbali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir harus melepaskan barang sewaan.

Teknik Perbankan al-Ijarah
Transaksi ijarah ditandai adanya pemindahan manfaat jadi, dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli. Namun perbedaan terletak pada objek barang, sedangkan pada sewa
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada nasabah, karena itu dalam perbankan syariah dikenal dengan al-Ijarah al-muntahiyah bit-tamlik (sewa yang diikuti dengan perpindahan kepemilikan).
Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian antara bank dengan nasabah.

Al-Ijarah Al-Muntahia Bit-Tamlik

Transaksi yang disebut dengan Al-Ijarah al-Muntahia Bit-Tamlik adalah sejenis perpeduan kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa.

Al-Ijarah al-Muntahia Bit-Tamlik memiliki banyak bentuk tergantung pada apa yang disepakati kedua pihak yang berkontrak. Misalnya al-Ijarah dengan janji menjual nilai sewa yang mereka tentukan dalam al-ijarah: harga barang dalam transaksi dan kapan kepemilikan dipindahkan.

Manfaat dan resiko yang harus diantisipasi

Manfaat dari transaksi al-Ijarah untuk bank adalah keuntungan sewa dan kembalinya uang pokok. Adapun resiko yang mungkin terjadi dalam al-Ijarah adalah sebagai berikut:
Default : Nasabah tidak membayar cicilan dengan sengaja
Rusak    : Aset ijarah rusak sehingga menyebabkan biaya pemeliharaan bertambah, terutama bila disebutkan dalam kontrak bahwa pemeliharaan harus dilakukan oleh bank
Berhenti : Nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak mau membeli aset tersebut. Akibatnya, bank harus menghitung kembali keuntungan dan mengembalikan sebagian kepada nasabah.


BAB III

PENUTUP


Kesimpulan

Dari pembahasan makalah ini, kita dapat simpulkan bahwa pengertian al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri.

Teknik perbankan al-Ijarah

1)      Transaksi ijarah ditandai adanya pemindahan manfaat

2)      Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada nasabah

3)      Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian antara bank dengan nasabah.

Transaksi al-Ijarah al-Muntahia bit-thamlik adalah sejenis perpaduan kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa.

Resiko yang harus diantisipasi:
Default : Nasabah tidak membayar cicilan dengan sengaja
Rusak    : Aset ijarah rusak sehingga menyebabkan biaya pemeliharaan bertambah
Berhenti : Nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak mau membeli aset tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Muh, Rifa’i; Ilmu Fiqh Islam (Semarang: CV. Toha Putra, 1978).
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Al-Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1976).
Drs. H. Muh, Rifa’i; Mutiara Fiqh (Semarang: CV. Toha Putra, 1978

0 komentar:

Posting Komentar

Powered by Blogger